SUMPAH saya nggak hapal nama sufi-sufi yang menghiasi dunia dengan kisah-kisah sufistik yang sederhana tapi mendalam. Saya juga tidak akan berserita tentang kisah sufi yang pernah ditulis orang. Lo lalu?
Iya. Saya tengah merasakan kedasyatan angin sufi di kiri kanan saya hari-hari ini. Saya mesti kulonuwun pada Kanjeng Nabi Muhammad yang merupakan sufi sejati. "Assalamualaika Ya Rasul..."
Setahu saya seorang sufi itu menghadapi dunia yang ruwet dengan pikiran sederhana. Melangkah gagah menyongsong waktu dengan kepala menunduk yang berarti takjim pada setiap detik jarum berputar dengan hati ikhlas. Seikhlas andaikata jarum jam diputar berlawanan arah.
Laku lampah sufi itu bisa diibaratkan bila seluruh dunia suka dugem, maka laku sufi lebih memilih tiba-an, samroh atau nasyid. Tak peduli betapa semua orang tertawa, laku sufi malah menangis dalam sepi.
Saya teringat bagaimana para juara olimpiade menakhlukan ego pribadi untuk terus-dan terus berlatih supaya selalu siap dengan semua pertandingan yang dia ikuti. Tak peduli ada atau tidak ada hadiahnya, para juara ini akan selalu bersemangat bila harus mengikuti pertandingan yang akan mencatat namanya dalam tinta emas prestasi dunia. Sama seperti para tentara yang berlatih bertempur; mau ada atau tidak ada pertempuran.
Lalu bagaimana rasanya berlatih, sementara tidak ada kejuaraan atau combat dengan bangsa lain, disitulah letak angin sufinya. Kita yang hidup di jaman normal pasti anggap hari biasa sebagai hari libur, sedangkan para juara mengganggap setiap hari adalah pertandingan; dan bagi tentara setiap hari adalah combat.
Memasuki spektrum yang lebih luas, saya kini melihat banyak para nomaden-nomaden (istilah untuk para pekerja yang bekerja berpindah-pindah tempat dalam waktu yang pendek) yang dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Di kontrakan saya di Makasar, ada beberapa orang ada yang dari Surabaya, Bojonegoro, Jakarta, Malang dan sebagainya berkumpul dalam satu lokasi dengan banyak kepentingan.
Waktu stay mereka ada yang pendek 1-3 bulan, 3-6 bulan dan ada yang jangka panjang lebih dari setahun. Saya pikir mereka tentu punya keluarga. HOw they build their relationship? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala, namun kalo membaca hikmah Al-Quran: Maka berpencaranlah engkau di muka bumi menyongsong rejeki Allah. kepala saya agak ringan.
Untung saja setiap saya keluar kota, saya jarang nginap di hotel. Suasana hotel tidak bersahabat dengan saya. Saya lebih menyukai susasana mahasiswa yang open mind, dan merakyat. So di Makasar saya juga menemui situasi itu. Masak mie instan, goreng-goreng tempe, dan beli ikan di warung. Suasana itu nggak masalah untuk jangka pendek, namun bagaimana bila bosan mulai menyeruak disisi kanan dan kiri keteguhan kita.
Perkara bosan kadang menjadi penyakit buat siapa saja: tukang becak yang nunggu penumpang, tukang nasi yang nunggu pelangganya, atau seorang tentara yang nunggu giliran perang. bagi saya bosan kadang ajaib. Ajaibnya sekian hari waktu berlalu kadang tidak berasa karena nyaris tampak sama. Bedanya hanya ketika mau tidur...duh kaki terasa kesemutan!!!
Iyah. Bagaimana rasanya dihembuskan napas sufi dengan menemui kebosanan dan kita diminta memasak material bosan menjadi sesuatu yang menarik, disitulah letak inti sufi. Bosan itu manusiawi. Hanya malaikat dan setan saja yang keduanya tidak punya rasa bosan. Mangkanya nggak bakalan ada malaikat sufi atau setan sufi.
KIta yang jauh dari jalan sufi paling bisa ngebayangin bagaimana ya masalah ruwet jadi mudah di mata sufi. Bagaimana memasak kebosanan menjadi irama yang merindu. Dan bagaimana seorang sufi yang hengkang dari headline berita dunia; jauh dari internet, facebook, YM, skype dan aneka hinggar bingar dunia yang menghanyutkan.
Pergi ke ujung dunia. Sepi. Sendiri. Tanpa jiwa. (Inikah jalan bagi mualaf sufi, untuk menata hidupnya di dunia fana ini)...........
Iya. Saya tengah merasakan kedasyatan angin sufi di kiri kanan saya hari-hari ini. Saya mesti kulonuwun pada Kanjeng Nabi Muhammad yang merupakan sufi sejati. "Assalamualaika Ya Rasul..."
Setahu saya seorang sufi itu menghadapi dunia yang ruwet dengan pikiran sederhana. Melangkah gagah menyongsong waktu dengan kepala menunduk yang berarti takjim pada setiap detik jarum berputar dengan hati ikhlas. Seikhlas andaikata jarum jam diputar berlawanan arah.
Laku lampah sufi itu bisa diibaratkan bila seluruh dunia suka dugem, maka laku sufi lebih memilih tiba-an, samroh atau nasyid. Tak peduli betapa semua orang tertawa, laku sufi malah menangis dalam sepi.
Saya teringat bagaimana para juara olimpiade menakhlukan ego pribadi untuk terus-dan terus berlatih supaya selalu siap dengan semua pertandingan yang dia ikuti. Tak peduli ada atau tidak ada hadiahnya, para juara ini akan selalu bersemangat bila harus mengikuti pertandingan yang akan mencatat namanya dalam tinta emas prestasi dunia. Sama seperti para tentara yang berlatih bertempur; mau ada atau tidak ada pertempuran.
Lalu bagaimana rasanya berlatih, sementara tidak ada kejuaraan atau combat dengan bangsa lain, disitulah letak angin sufinya. Kita yang hidup di jaman normal pasti anggap hari biasa sebagai hari libur, sedangkan para juara mengganggap setiap hari adalah pertandingan; dan bagi tentara setiap hari adalah combat.
Memasuki spektrum yang lebih luas, saya kini melihat banyak para nomaden-nomaden (istilah untuk para pekerja yang bekerja berpindah-pindah tempat dalam waktu yang pendek) yang dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah. Di kontrakan saya di Makasar, ada beberapa orang ada yang dari Surabaya, Bojonegoro, Jakarta, Malang dan sebagainya berkumpul dalam satu lokasi dengan banyak kepentingan.
Waktu stay mereka ada yang pendek 1-3 bulan, 3-6 bulan dan ada yang jangka panjang lebih dari setahun. Saya pikir mereka tentu punya keluarga. HOw they build their relationship? Banyak pertanyaan yang muncul di kepala, namun kalo membaca hikmah Al-Quran: Maka berpencaranlah engkau di muka bumi menyongsong rejeki Allah. kepala saya agak ringan.
Untung saja setiap saya keluar kota, saya jarang nginap di hotel. Suasana hotel tidak bersahabat dengan saya. Saya lebih menyukai susasana mahasiswa yang open mind, dan merakyat. So di Makasar saya juga menemui situasi itu. Masak mie instan, goreng-goreng tempe, dan beli ikan di warung. Suasana itu nggak masalah untuk jangka pendek, namun bagaimana bila bosan mulai menyeruak disisi kanan dan kiri keteguhan kita.
Perkara bosan kadang menjadi penyakit buat siapa saja: tukang becak yang nunggu penumpang, tukang nasi yang nunggu pelangganya, atau seorang tentara yang nunggu giliran perang. bagi saya bosan kadang ajaib. Ajaibnya sekian hari waktu berlalu kadang tidak berasa karena nyaris tampak sama. Bedanya hanya ketika mau tidur...duh kaki terasa kesemutan!!!
Iyah. Bagaimana rasanya dihembuskan napas sufi dengan menemui kebosanan dan kita diminta memasak material bosan menjadi sesuatu yang menarik, disitulah letak inti sufi. Bosan itu manusiawi. Hanya malaikat dan setan saja yang keduanya tidak punya rasa bosan. Mangkanya nggak bakalan ada malaikat sufi atau setan sufi.
KIta yang jauh dari jalan sufi paling bisa ngebayangin bagaimana ya masalah ruwet jadi mudah di mata sufi. Bagaimana memasak kebosanan menjadi irama yang merindu. Dan bagaimana seorang sufi yang hengkang dari headline berita dunia; jauh dari internet, facebook, YM, skype dan aneka hinggar bingar dunia yang menghanyutkan.
Pergi ke ujung dunia. Sepi. Sendiri. Tanpa jiwa. (Inikah jalan bagi mualaf sufi, untuk menata hidupnya di dunia fana ini)...........
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com